Wednesday, January 13, 2010

Bemo, Riwayatmu Kini

Siapapun pasti kenal bemo, sebuah kendaraan angkutan beroda tiga yang masih banyak dijumpai berkeliaran di Batavia, terutama didaerah Bendungan Hilir (Benhil) maupun di kawasan Jelambar. Sebenarnya bemo tidak hanya berada di Jakarta saja, namun banyak beredar di banyak kota, termasuk Solo. Sebagaimana saya ingat bahwa Ibu saya pernah bercerita bahwa jaman beliau sekolah SMA dulu, dari kawasan Bekonang sampai Solo itu naik Bemo.

Bemo adalah nama yang diberikan oleh orang Indonesia, merupakan singkatan dari becak motor. Sebenarnya dia adalah kendaran bermotor roda tiga produksi Daihatsu dengan merk Midget, diprodukis tahun 1957 dengan kapasitas silinder 250 cc. Bemo didatangkan ke Indonesia dalam rangka Ganefo pada tahun 1962.

Sekitar tahun 70-an hingga 80an, kendaraan ini mulai banyak disingkirkan dan diganti dengan kendaraan beroda empat. Dengan alasan efisiensi, bahwa angkutan model ini tidak mampu mengangkut banyak orang, jadi sudah tidak sesuai dengan jaman dan kebutuhan akan angkutan massal. Banyak kota melakukan hal tersebut, termasuk Solo dan Surabaya. Namun ternyata di Jakarta masih bertahan hingga sekarang dan menjadi jenis angkutan yang unik.

Alasan pengingkiran bemo karena tuntuan kebutuhan dan efisiensi serta sudah nggak jamannya lagi, menurut saya hanya salah satu alasan. Dalam pandangan saya ada alasan politis dibalik penyingkiran Bemo. Bahwa Bemo adalah warisan Ganefo (Games of the New Emerging Forces), sebuah ajang kompetisi olah raga tingkat dunia bagi negara-negara “kiri” yang digagas oleh Soekarno setelah Indonesia menyatakan diri tidak ikut olimpiade. Setelah kejatuhan Soekarno, seolah apa yang pernah digagas Soekarno menjadi sesuatu yang tidak boleh ada. Demikian analisis saya seorang kaum biasa ini dengan kasus penyingkiran Bemo.

Hari-hari ini, di Jakarta mulai melakukan penyingkiran terhadap Bemo, karena tidak dilengkapi surat-surat dan dianggap membuat polusi serta sudah tidak layak pakai plus menambah kemacetan jalanan. Sebuah alasan yang cukup tidak realitis. Kalau Bemo dianggap membuat polusi, lha Metro Mini yang ngepulkan asap hitam kok didiamkan saja?? Padahal asapnya lebih hitam. Kalau dicap menjadikan macet, lha bus kota dan angkot yang ngetem sembarang tempat kenapa dibiarkan saja??

Harusnya biarkanlah Bemo tetap berkeliaran, sebab ini adalah model angkutan yang unik dan hanya ada di Jakarta saja. Di tempat lain sudah pada musnah. Sebenarnya pada suatu saat akan musnah juga karena suku cadangnya telah tidak diproduksi oleh pihak Daihatsu. Tapi memang orang Indonesia itu kreatif maka masih saja bisa jalan. Bemo masih menjadi andalan wong cilik dalam mencukupi kebutuhan ekonominya. Pemiliknya adalah wong cilik dan yang menggunakan jasanya juga wong cilik. Jadi menurut saya penyingkiran Bemo adalah menyakiti wong cilik. Mematikan ekonomi kelas bawah dan menambah kesengsaraan wong cilik.

Sunday, January 3, 2010

Biopori dan Masalah Banjir

Iklim investasi perdagangan dan jasa serta industrialisasi Indonesia terus tumbuh dan berkembang. Hal ini menjadikan pembangunan sarana pra sarana kota harus terus ditingkatkan. Gedung-gedung perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan menjadi hal wajib yang harus ada terus bertambah. Pengerasan jalan dengan aspal dan beton terus dilakukan seiring meningkatnya volume kendaraan yang melintas.

Akan tetapi hal tersebut bukan tanpa masalah. Masalah yang kerap kali dijumpai di banyak kota (terutama kota besar) adalah terkait dengan air dan sampah serta polusi udara. Air meluap dimana-mana ketika hujan tiba. Sampah makin hari makin meningkat, di kota sekecil Solo saja volume sampahnya saat ini mencapai 250 ton per hari. Kondisi udara juga semakin panas karena polusi dari kendaraan bermotor yang lalu lalang dan kepulan asap industri.

Kondisi ini tercipta karena gencarnya pengerasan jalan dengan beton dan aspal yang berakibat pada tidak dapat meresapnya air ke dalam tanah. Ditambah dengan makin sempitnya drainase (saluran pembuangan) yang mana juga tidak lancar karena banyaknya tumpukan sampah yang dibuang ke sungai dan saluran air, serta makin menipisnya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai resapan air dan paru-paru kota. Penurunan permukaan tanah karena pembangunan gedung-gedung tinggi juga menjadi salah satu penyebabnya.

Kondisi yang sudah sedemikian itu haruslah segera diantisipasi dan diatasi. Siapa yang harus mengantisipasi? Semua warga, pemerintah dan semua orang harus peduli dan mau memikirkan hal tersebut. Sebab ini adalah tanggung jawab bersama.

Ruang-ruang terbuka hijau harus dikembalikan lagi fungsinya sebagai resapan air dan paru-paru kota. Bersama-sama menyadari bahwa membuang sampah ke sungai adalah menciptakan masalah baru. Serta, dengan penggunaan barang-barang an-organik seperti tas plastik adalah memicu sampah yang tak terurai oleh alam, maka seminimal mungkin dalam penggunaannya. Penggunaan kendaraan bermotor pun harus sadar dan peduli lingkungan dengan berupaya meminimalisir penggunaan kendaraan bermotor atau dengan menggunakan bahan bakar organik atau bio-fuel.

Ada satu hal baru yang menarik dalam mengatasi meluapnya air (banjir) adalah dengan membuat biopori-biopori pada tanah. Biopori adalah lubang-lubang didalam tanah yang tercipta secara alamiah karena aktivitas organisme (fauna tanah), perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang tersebut akan berisi udara dan akan menjadi tempat lewatnya air.

Dan seperti dicetuskan oleh DR. Kamir R Brata (dari IPB) tentang metode lubang resapan biopori yaitu metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Teknologi sederhana ini kemudian disebut dengan nama lubang resapan biopori. (sumber : wikipedia).

Artinya, biopori yang secara alamiah memang dapat terbentuk namun karena kendala berbagai hal seperti sudah rusaknya struktur tanah maka biopori ini dapat dibuat. Ini merupakan teknologi murah dan tepat guna dalam mengendalikan banjir. Dan ini tidak harus langsung dilakukan dalam skala besar. Setiap orang dapat membuatnya di halaman atau kebun rumahnya sebab pembuatannya cukup mudah, yakni dengan melubangi tanah setidaknya berdiameter 10-15 cm dengan kedalaman lubang 50-100 cm dan jarak antar lubang 50-100 cm. Sampah organik dapat selalu ditambah atau diambil dan diganti yang baru.

Metode ini pernah saya praktekan bersama teman-teman kuliah dulu di kampus saya di Solo. Di hutan buatan dan taman kampus Pertanian UNS Solo kami membuat puluhan biopori yang kami timbuni sampah organik dari dedaunan yang banyak berserakan di kampus. Hasil komposnya ada yang dipakai untuk media pertanaman tanaman hias dan media percobaan teman-teman saat penelitian dan skripsi serta ada sisanya dijual.

Bahwa mengubah hal besar harus dumulai dari hal kecil dan haruslah diawali dari diri kita sendiri. Kepedulian kita adalah awal pada perubahan besar terhadap perbaikan lingkungan kita.