Monday, October 10, 2011

yang Terhempas, yang Tertindas

Selalu ada peminggiran kaum diffabel dalam wujud kehidupa sehari-hari dengan berbagai bentuk dan ranah, namun seolah-olah ini sudah dianggarp sebagai sesuatu yang pantas diterima diffabel. Sungguh ironis. Penderitaan yang dialami kaum diffabel sungguh rumit. Di satu sisi, mereka tidak dapat melakukan gugatan kepada Tuhan atas keadaan dirinya, dan di sisi lain sebagian masyarakat memperlakukan dan memandangnya secara berbeda bahkan semena-mena. 

Pada ranah sumber sosial (pendidikan, ekonomi, kependudukan, sumber daya manusia serta teknologi) kaum difabel seringkali tidak mendapatkan kesempatan yang setara. Pendidikan kaum difabel di negeri ini disendirikan, akan tetapi sarana penunjangnya sangatlah kurang. Akibatnya pengembangan kemampuan akademik dan non-akademik minim sekali, juga interaksi dengan orang non-difabel juga relatif terbatas, Teknologi yang dikembangkanpun juga sangat jarang yang diarah untuk membantu keterbatasan mereka.

Pada ranah sistem sosial (norma, hukum, sosial, politik), kaum difabel secara politik diragukan kemampuannya karena keterbatasan fisik untuk menjadi pimpinan lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan. Sarana prasarana umum juga sangat jarang memperhatikan aksessibilitas kaum difabel. Seakan-akan hanya disediakan bagi orang non-difabel, akibatnya sarana prasarana umum tersebut tidak mempersatukan individu atau kelompok di masyarakat namun justru cenderung memecah belah yang berakibat pada kecemburuan dan pada akhirnya memicu konflik.

Pada ranah budaya, bagi sebagian masyarakat, kaum difabel, dianggap rendah dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai karma atau kutukan. ALLAH SWT pernah menegur Kanjeng Nabi Muhammad SAW karena bermuka masam dan memalingkan muka dari orang buta yang menghampirinya (sebagaimana dimaktub dalam QS AbBassa). Dalam bahasa Indonesia, kata cacat seringkali dikonotasikan dengan ejekan atau peyoratif dan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang tidak baik, misalnya orang yang berkelakuan buruk disebut dengan cacat moral atau orang yang pernah berbuat makar pada negara dikatakan cacat politik.

Manusia memang dilahirkan dalam keadaan berbeda, namun berhak mendapatkan hak asasi yang sama. Setiap orang memiliki keterbatasan dan jangkauan yang berbeda namun dalam kehidupan bersama semua orang harus memperoleh perlakuan yang setara. Kaum difabel memiliki keterbatasan fisik namun bisa jadi memiliki jangkauan lebih dalam hal lain.

Bagaimana dengan kaum difabel di Indonesia? Di negeri ini telah banyak kebijakan yang digulirkan untuk 'mencoba' melindungi dan berpihak serta mengakui hak-hak kaum difabel, diantaranya adalah:
  • Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
  • Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
  • Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
  • Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1999 tentang Lembaga Koordinasi Dan Pengendalian Peningkatan Sosial Penyandang Cacat.
  • Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
  • Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas bagi penyandang cacat dan orang sakit pada sarana dan prasarana perhubungan
Akan tetapi masih saja jauh dari implementasi. Kaum difabel di negeri ini masih saja sulit mengakses pekerjaan formal baik sebagai pegawai negeri maupun swasta. Jikapun ada hanya satu dari seribu difabel yang berhasil mengaksesnya. Aksessibilitas pada sarana prasarana umum seperti gedung, jalan, halte masih tidak mencerminkan pengakuan keberadaan mereka, sangat banyak yang tidak menyediakan kemudahan akses bagi difabel. Bahkan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) yang dicanangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 hanya tinggal nama dan kenangan sebab aksesibilitas pada bangunan dan transportasi publik kita masih jauh dari standar aksesibilitas.

Bahwa perjuangan kaum difabel Indonesia memang tidak pernah berhenti. Namun seolah-olah masih saja terbentur pada sebuah tembok besar yang kokoh. Dan perjuangan tersebut memang tidak akan pernah berhasil jika tanpa didukung organisasi serta sumber daya manusia difabel yang kuat serta oleh kalangan non-difabel yang memiliki empati kepada mereka. Tanpa itu, sekuat apapun gerakan dan teriakan kaum difabel memperjuangkan hak-haknya maka akan nihil. Pemerintah sebagai wujud dari pelaksanaan tata kelola negara harus terus didesak, sebab kemauan pemerintah untuk menjalankan peraturan perundangan yang telah dibuat tersebut masih nihil. Hampir selalu retorika belaka. Bahkan jika memang diperlukan untuk melakukan class action ataupun gugutan pra peradilan atas tidak aksesibelnya sarana prasarana umum yang dibangun oleh negara menjadi hal dapat dilakukan.

Tulisan ini diolah dari hasil diskusi bersama dengan Organisasi Difabel "Warsa Mundung" Magelang
Gambar ilustrasi dari sini