Monday, June 18, 2012

Apa Itu APBD?

Anggaran adalah pernyataan tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang serta realisasinya di masa yang lalu. Anggaran diperlukan disemua tingkatan, baik secara sederhananya di keluarga atau lebih luasnya lagi di daerah kabupaten/kota maupun nasional. Dalam lingkup keluarga, sumber penerimaan berasal dari hasil kerja beberapa anggota keluarga yang kemudian dibelanjakan kembali dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Inilah yang dinamakan APBK (Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga).

Di tingkat kabupaten atau kota, anggaran itu berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD diperlukan untuk menciptakan keteraturan sosial, menjamin hak-hak masyarakat, dan terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, APBD hendaknya disusun berdasarkan prioritas kebutuhan masyarakat dan mengakomodasi perbedaaan kebutuhan antar kelompok dalam masyarakat.

Proses perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan secara transparan dan partisipatif agar masyarakat mengetahui prioritas pembangunan suatu daerah. Dengan demikian diharapkan tata pemerintahan yang baik dan bersih dapat terwujud.

Secara sederhana, sebuah keluarga dapat disamakan dengan sebuah kabupaten/kota. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, keluarga memiliki sumber penerimaanyang berasal dari hasil kerja beberapa anggota keluarga, misalnya bapak, ibu, anak sulung dan seterusnya. Sumber-sumber penerimaan ini dikumpulkan untuk kemudian dibelanjakan kembali dalam merangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, baik yang menyumbang penerimaan keluarga maupun yang tidak. Agar distribusi sumber daya bisa dilakukan secara adil, orangtua sebagai pembuat keputusan tertinggi harus memiliki kepekaan atas kebutuhan yang khas masing- masing anggota keluarga, termasuk bayi yang belum bisa menyuarakan kebutuhannya sendiri.

Sebuah kota/kabupaten adalah sebuah satu keluarga besar yang terdiri dari berbagi kelompok masyarakat dengan berbagi suku, ras, jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaaan. Pemerintah daerah adalah pihak yang mendapat amanat dari rakyat untuk mengelola sumber daya yang dikumpulkan dari rakyat dalam bentuk pembayaran pajak dan retrebusi. Untuk menjalankan amanat itu, pemerintah perlu menyusun suatu rancangan mengenai perkiraan penerimaan dan pengeluaran dalam jangka waktu tertentu, yang disebut APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Secara filosofi, anggaran diperlukan untuk menjamin eksistensi negara dan untuk membiayai pengelolaan negara. Sementara itu, negara diperlukan karena tiga alasan, yaitu : (1) Untuk menciptakan keteraturan sosial; (2) Menjamin hak-hak masyarakat; dan (3) Menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga alasan itu terkait dengan upaya penyelesaian masalah di masyarakat agar masyarakat bisa hidup, aman, adil dan sejahtera.

Di masa lalu penyusunan APBD lebih bersifat rutinitas. Besaran alokasi APBD tahun berikutnya akan naik secara bertahap (incremental) tanpa ada dasar yang jelas dan tanpa melihat berhasil tidaknya program-program yang dilakukan. Inilah yang dinamakan dengan Sistem Anggaran Tradisional. 

Harapan akan adanya perubahan ditandai dengan dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Regulasi tentang pengelolaan keuangan daerah dalam UU tersebut diturunkan dalam Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000 tentang pengelolaan Keuangan Daerah yang kemudian diturunkan lagi dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran dan Belanja Daerah. 

Dalam aturan-aturan di atas, pemerintah telah memproklamirkan untuk hijrah ke Sistem Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) yang menekankan pada kejelasan tujuan dan hasil dari program atau kegiatan yang dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam perjalanannya, UU No 22 Tahun 1999 telah direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004. revisi tersebut diikuti dengan dikeluarkannya PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (menggantikan PP No 105 tahun 2000), yang dilanjutkan dengan keluarnya Permendagri no 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (menggantikan Kepmendagri no 29 tahun 2002).

Fungsi APBD
Dalam aturan-aturan di atas disebutkan mengenai enam fungsi anggaran, antara lain terdapat dalam pasal 3 ayat (4) UU no 17 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa APBN/APBD mempunyai fungsi : 
  1. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran harus menjadi dasar dalam melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan; 
  2. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan; 
  3. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan pengelenggaran perintah negara maupun daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; 
  4. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran harus diarahkan untuak mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian; 
  5. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; 
  6. Fungsi stabilitasi mengandung arti bahwa anggaran menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental dan perekonomian.

Permasalahan di masyarakat yang perlu diselesaikan dalam bentuk kebijakan (program) yang didukung oleh anggaran yang memadai jauh lebih banyak dibanding jumlah anggaran yang tersedia. Dengan kata lain, ada keterbatasan anggaran. Maka, penyusunan prioritas dalam penyusunan anggaran mutlak harus dilakukan. 

Dalam kenyataannya, proses-proses yang terjadi dalam penyusunan anggaran adalah proses politik karena masing-masing pihak ingin memperjuangkan kepentinganya sendiri. Akibatnya, angka yang tercantum dalam APBD juga merupakan angka politik.

Download Berkenalan dengan APBD

Tuesday, June 5, 2012

Kepel: Parfum Alami dan Anti Kanker

Awalnya saya heran dan takjub ketika pertama kali menginjakkan kaki di Magelang 7 tahun silam. Saya melihat pohon yang buahnya tidak menempel di dahan layaknya pohon-pohon lainnya, namun buahnya menempel pada batangnya. Subhanallah. Buah apakah gerangan ini, gumam saya. Lalu saya bertanya ke sana ke mari serta melakukan pencarian di internet.

Orang Jawa menamainya dengan Kepel (karena besar buahnya sebesar kepalan tangan) dalam bahasa Indonesia disebut dengan Burahol, diambil dari Stelechocarpus burahol (nama ilmiahnya).

Divisi
:
Spermatophyta
Filum (Sub Divisi)
:
Magnoliophyta (nama baru dari Angiospermae) – Tumbuhan berbiji terbuka
Kelas
:
Magnoliopsida (nama baru dari Dicotyledonae) – Tumbuhan berbiji belah/bercabang
Ordo (Bangsa)
:
Fabales – Tumbuhan berbunga
Famili (Suku)
:
Annonaceae
Genus (Marga)
:
Stelechocarpus
Spesies
:
Stelechocarpus burahol (Blume) Hook. & Thomson

Daging buah kepel atau burahol ini mengandung saponin, flavonoida dan polifenol yang berfungsi dapat meluruhkan air seni serta menjadikan keringat tidak berbau. Sehingga selain sebagai parfum alami serta menjadikan air seni tidak berbau juga dapat mengobati radang pada ginjal. Maka tidak mengherankan apabila konon buah ini adalah kesukaan kerabat keraton Jogja dan Solo. Para puteri keraton selalu mengonsumsi buah ini agar keringatnya tidak berbau. Selain itu, buah kepel juga digunakan untuk proses KB alamiah sebab dapat mengurangi kesuburan sementara pada perempuan.

Daunnya adalah penangkap radikal bebas (anti-kanker) karena mengandung zat sitotoksik antara lain acetogenin, styryl lactons dan isoflavon. Dimana acetogenin berperan dalam mengganggu permeabilitas mitokondria sel kanker dan pengaturan apoptosis sel kanker. Styryl lactons berperan dalam peningkatan tumor supressor gene (anti tumor genesis), dan isoflavon berperan dalam pengendalian sifat estrogenik sel kanker.

Namun tanaman ini sudah cukup langka. Hanya sedikit yang tersisa di kawasan keraton Jogja dan Solo. Sebenarnya tanaman Kepel dapat tumbuh subur pada tanah lembab dataran rendah hingga sedang (100-610 m dpl). Dan ini banyak dijumpai di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaya. Perkembangbikannya hanya dengan biji. Proses cangkok dan stek (vegetatif) tidak berhasil, maka saat ini sedang dicoba dikembangbiakan dengan metode kultur in vitro atau kultur jaringan. Tanaman kepel relatif kebal penyakit (sampai saat ini belum ada laporan tentang jenis penyakitnya) sementara hama tanaman ini adalah kelelawar dan binatang pengerat (misal: tikus).

Ciri-ciri pohon Kepel adalah pohonnya tegak dengan tinggi mencapai 25 M. Daunnya berwana hijau gelap berbentuk lanset (bulat telor), tidak berbulu dan merotal tipis dengan pangkal daun panjangnya mencapai 1,5 cm. Tajuk atau kanopinya berbentuk kubah meruncing (layaknya pohon cemara). Cabang-cabangnya mendatar, sementara batangnya berwarna coklat cenderung hitam dengan diameter berkisar 40 cm.

Bunganya muncul pada tonjolan-tonjolan batang adalah bunga yang berkelamin tunggal, mula-mula berwarna hijau kemudian berubah menjadi keputih-putihan. Bunga jantannya terletak di batang sebelah atas dan di cabang-cabang yang lebih tua, berkumpul sebanyak 8-16 kuntum berdiameter 1 cm. Sementara bunga betinanya hanya berada di pangkal batang, diameternya mencapai 3 cm.

Buahnya bergerombol antara 1-13 buah. Panjang tangkai buahnya mencapai 8 cm; buah yang matang hampir bulat bentuknya, berwarna kecoklat-coklatan, diameternya 5-6 cm, dan berisi sari buah yang dapat dimakan. Bijinya berbentuk menjorong, berjumlah 4-6 butir, panjangnya sekitar 3 cm. Berat segar buah antara 62-105 g, dengan bagian yang dapat dimakan sebanyak 49% dan bijinya 27% dari berat buah segar. Buah kepel dianggap matang jika digores kulit buahnya terlihat berwarna kuning atau coklat muda.

Sumber referensi:
Potensi In Vitro Zat Sitotoksik Anti Kanker Daun Kepel terhadap Carcinoma Colrectal (Makalah, Fak. Kedokteran UNS, 2008)
Anatomi Tumbuhan dan Botani Umum (Buku Pegangan Kuliah, Fak. Pertanian UNS, 1999)

Sunday, June 3, 2012

Otonomi dan Keuangan Desa

Bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dibangun diatas dan dari desa. Dan desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial masing-masing. Inilah yang menjadi cikal bakal sebuah negara bernama Indonesia ini. Namun, sampai saat ini pembangunan desa masih dianggap seperempat mata oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa terutama pembangunan sumber daya manusianya sangat tidak terpikirkan.

Desa sebagai sebuah kawasan otonom memang diberikan hak-hak istimewa, diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa, pemilihan kepala desa [kades] serta proses pembangunan desa. Namun, ditengah pemberian otonomisasi desa tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas SDM-nya. Sehingga pelaksanaannya masih jauh dari harapan.

Ambil contoh kasus masalah pengelolaan keuangan desa. Dengan hak otonomnya tersebut desa berhak mengelola keuangan desa secara mandiri. Baik mengelola pendapatan dan sumber-sumber pendapatan tersebut. Juga mengelola pembelanjaan anggaran tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya sangat banyak desa yang belum dapat memanfaatkan keistimewaannya tersebut. Ketergantungan dana dari pemerintah pusat maupun daerah masih sangat kuat. Desa belum dapat mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan desa dengan berbasis pada kekayaan dan potensi desa setempat.

Ditambah lagi SDM yang tidak mumpuni dalam pengelolaan keuangan menjadikan banyak kasus penyimpangan anggaran. Dan peningkatan kapasitas untuk korupsi sukses dilakukan, itulah yang dipetik dari "hasil belajar" pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Artinya, dengan pemberian kewenangan pengelolaan keuangan desa [berdasarkan Permendagri 37/2007] dan adanya Alokasi Dana Desa [berdasarkan PP 72/2005], yang terjadi adalah bukanya desa semakin maju dan makmur akan tetapi justru semakin banyak kasus penyelewengan dan memperkaya diri yang dilakukan oleh kepala desa.

Sebenarnya hal tersebut diatas dapat [penyelewengan anggaran desa] tidak akan terjadi apabila ada keterlibatan aktif masyarakat mulai dari tahap perencanaan [Musrenbang Desa], pelaksanaan dan pengawasan pembangunan hingga pertangunggjawabannya. Namun, yang terjadi memang masih sangat susah dalam melibatkan aktif masyarakat, sebab ternyata dari hasil belajar bersama dengan masyarakat, mereka tidak tidak terlibat aktif memang karena tidak pernah diajak. 

Nah, ternyata kembali lagi pada kapasitas aparat desa lagi dalam memahami perundangan. Atau memang mereka paham akan tetapi justru mengakali peraturan demi kemudahan dan keuntungan mereka. Hal yang kedua ini juga "hasil belajar" dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Download Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 37/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Download Peraturan Pemerintah (PP) No 72/2005 tentang Desa