Tuesday, December 22, 2015

Jalur Darat Makassar - Bone

Guna menuju Kabupaten Bone dari Kota Makassar dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam perjalanan tanpa macet dan hambatan lain. Namun jika hari hujan dan perjalanan dilakukan malam hari harus menempuh perjalanan sekitar 5 jam. Jalur jalan darat perbukitan berkelok dengan tikungan tajam, bahkan tikungan lettes "S" dan "U" akan banyak ditemui sepanjang perjalanan, dimulai dari wilayah Camba (Maros) hingga Bengo (Bone). 

Di daerah Bengo (Bone), tepatnya di Desa Lilirawang, Kecamatan Bengo,  ada sebuah terowongan batu cadas sepanjang 8 meter dan lebar 5 meter, terowongan ini disebut oleh warga setempat dengan nama Sumpang Labbu yang bermakna Jalan Berdebu. Namun dulunya terowongan ini disebut dengan Batu Goroe atau Batu Massebboe yang bermakna Batu Berlubang, yang menurut cerita dibuat dengan dipahat oleh ribuan pekerja paksa zaman Balanda. 

Dan memang menurut cerita sejarah, jalur Makassar - Bone ini dibangun oleh Belanda guna menghindari Pasukan Kerajaan Gowa yang melakukan perang gerilya di pegunungan bagian selatan Pulau Sulawesi. Pasukan Gowa melakukan perang gerilya setelah keberadaan perjanjian Bongaya yang merugikan dan membuat Kerajaan Gowa tidak berdaya.

Di terowongan Sumpang Labbu ini, truk terkadang tidak masuk, sehingga sangat sering akan melakukan bongkar muatan terlebih dahulu agar dapat memasuki terowongan. Di sekitar terowongan banyak warga yang menyediakan jasa bongkar muat barang bagi truk angkutan barang yang akan membongkar muatannya guna melawati terowongan ini.



Friday, December 18, 2015

Inspirasi dari Seorang Sahabat

Fitri NN
Sewaktu saya bersekolah di SMA 5 Surakarta (sering disebut dengan Smaliska) tahun 1996-1999, beberapa teman saya adalah difabel. Setidaknya ada 10an orang, namun yang saya tahu dan kenal hanya beberapa orang yakni Toni (tuna daksa), Adlia (tuna netra) dan Fitri (tuna netra). Memang SMA 5 Surakarta pada saat saya sekolah di sana dulu menerima siswa difabel, juga disediakan guru khusus untuk mereka, sarana prasarananya juga cukup memadai pada waktu itu, semoga masih berlanjut sampai saat ini.

Dari ketiga orang tersebut yang saya tahu dan kenal betul hanya Fitri Nugraha Ningrum, biasa disapa Fitri, seorang tuna netra yang punya semangat tinggi dan cerdas. Meskipun dia memiliki keterbatasan pengelihatan namun semangatnya berbagi dengan sesama sungguh luar biasa.

Pada waktu itu sering dia berkeliling dari kelas ke kelas untuk ider tampah guna mengumpulkan dana yang diperuntukkan guna operasional kelompok belajar yang dia dirikan. Kelompok belajar punya anggota hampir 100 anak yang terdiri atas anak-anak usia 5 hingga 17 tahun di sekitar rumahnya yang berada di kawasan Kandang Sapi, Jebres, Solo.

Kegiatan Pengajian Anak-anak di Al Fithrah tahun 2002
Anak-anak yang tergabung dalam kelompok belajar tersebut selain belajar mata pelajaran sekolah juga ilmu agama (ngaji). Saya mulai terlibat aktif di sana, baru ketika kuliah, sekitar tahun 2000/2001 ketika Fitri mendirikan sebuah yayasan yang dinamai Yayassan Al-Fithrah Surakarta.

Mulailah sejak itu hingga sekitar tahun 2006 saya terlibat aktif, bersama empat kawan kuliah saya. Ya ngajari ngaji iqra', ya ngajari nggarap PR, ya ikut sumbang saran perkembangan yayasan.

Ketika benar-benar terlibat itulah saya paham betul karakter dan semangat kawan saya ini. Sungguh luar biasa, bahkan kami-kami yang non-difabel saja tidak sampai kepikiran hal-hal semacam ini. Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, Fitri ternyata memiliki jangkauan yang diluar batas orang biasa seperti saya. Bahkan, dia telah berhasil menyelesaikan S-2nya Pengembangan Masyarakat di UNS Surakarta.

Setelah tahun 2006 saya berpindah dari Kota Solo ke Magelang baru dapat berjumpa kembali dengan Fitri pada tahun 2009, ketika saya singgah ke sana bersamaan dengan acara pernikahan Fitri. Saya sungguh kaget Yayasan Al Fithrah telah berhasil membangun gedung 3 lantai di kawasan Kandang Sapi juga. Proses belajar anak-anak dan pengajian ibu-ibu masih tetap berlangsung hingga saat ini. Ini sungguh diluar bayangan dan mimpi kami semua yang ikut terlibat pada waktu itu.

Pertengahan tahun 2015 lalu, sekitar bulan Mei, saya ada pekerjaan di Mataram, NTB. Saya menghubungi Fitri dan saya singgah di rumahnya di Kawasan Kediri, Lombok Barat, NTB. Di rumah sederhana 2 lantai itu, dia juga mulai merintis kelompok bagi remaja yang dinamai Satelit Masa Depan Negara (SAMARA). Ada sekitar 20-an remaja putra dan putri (usia 13-18 tahun) yang berkegiatan di sini. Kegiatannya antara lain belajar bersama, diskusi tematik dengan narasumber tertentu, termasuk waktu saya datang diminta untuk berbagi pengalaman. Selain itu dari beberapa donatur yang yang dihimpun, SAMARA memberikan sedikit bantuan perlengkapan sekolah dan sedikit beasiswa untuk yang tidak mampu.

Bulan September 2015, saat saya berkunjung lagi ke Lombok, dan kembali menyempatkan mampir ke rumahnya, dia cerita bahwa baru saja dilantik sebagai Ketua DPD Persatuan Tuna Rungu Indonesia (PERTUNI) NTB 2015-2020, dan pada peringatan Hari Difabel Internasional di Lombok, Fitri sebagai ketua panitia kegiatan.

Sungguh merupakan pelajaran berharga bagi saya khusunya dan kita semua umumnya, bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk berbuat bagi sesama. Inilah pengejawantahan dari tansah migunani marang wong liyo.

Pranala luar:
http://interact.id/pertuni/musdalub-ntb-2015/
https://www.facebook.com/pertuni.ntb

*) Tulisan ini repost dari tulisan lama dengan pembaruan informasi